1.Kapasitas Tampung
Padang Penggembalaan
10 January 2011
Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan
Kapasitas tampung merupakan analisis kemampuan areal padang penggembalaan
atau kebun rumput untuk dapat menampung sejumlah ternak, sehingga kebutuhan
hijauan rumput dalam 1 tahun bagi makanan ternak tersedia dengan cukup.
Kapasitas tampung padang penggembalaan atau kebun rumput, erat berhubungan
dengan jenis ternak, produksi hijauan rumput, musim, dan luas padang
penggembalaan atau kebun rumput. Oleh karena itu, kapasitas tampung bisa
bermacam-macam dan tergantung pada pengukuran produksi hijauan rumput. Pada
musim basah, hijauan rumput akan tinggai produksinya daripada musim kering. Hal
demikian juga berarti bahwa pada musim basah bisa tersedia lebih banyak
produksi hijauan rumput untuk sejumlah ternak, namun pada musim kering jumlah
ternak akan terbatas jumlahnya sesuai dengan tersedianya hijauan rumput.
Besarnya produksi hijauan atau kebun rumput pada suatu areal dapat
diperhitungkan, seperti berikut :
1. Produksi Kumulatif, merupakan produksi padang penggembalaan
atau kebun rumput yang ditentukan bertahap selama 1 tahun. Setiap pemotongan
produksi hijauan rumput diukur dan dicatat. Setalah 1 tahun seluruh produksi
dijumlah, dan hasilnya merupakan produksi kumulatif.
2. Produksi Realitas, merupakan produksi yang ditentukan oleh
setiap pemotongan hijauan rumput seluruh areal padang penggembalaan atau kebun
rumput. Jadi, produksi realitas adalah produksi sebenarnya yang bisa diukur
dengan produksi ternak.
3. Produksi Potensial, merupakan produksi yang ditentukan atas
dasar perkiraan suatu areal padang penggembalaan atau kebun rumput. Jadi,
perhitungan ini cenderung disebut sebagai taksiran.
Rumput Lapang
Rumput lapang merupakan campuran dari beberapa jenis rumut lokal yang
umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang
rendah. Kualitas rumput lapang sangat beragam karena tergantung pada kesuburan
tanah, iklim, komposisi spesies, waktu pemotongan, cara pemberiannya, dan
secara umum kualitasnya dapat dikatakan rendah. Walaupun demikian rumput lapang
merupakan hijauan pokok yang sering diberikan pada ternak (Pulungan, 1988).
Menurut Aboenawan (1991), rumput lapang merupakan pakan yang sudah umum
digunakan sebagai pakan utama ternak ruminansia (sapi dan domba). Rumput lapang
banyak terdapat di sekitar sawah atau ladang, pegunungan, tepi jalan, dan
semak-semak. Rumput lapang tumbuh liar sehingga memiliki mutu yang kurang baik
untuk pakan ternak. Rumput lapang yang dikeringkan matahari memiliki komposisi
zat makanan seperti pada tabel berikut.
Tabel komposisi zat makanan rumput lapang (%bahan kering)
Zat
Makanan
|
% Bahan
Kering
|
Bahan
Kering (%)
|
78,37
|
Protein
Kasar (%)
|
7,12
|
Serat
Kasar (%)
|
27,59
|
Lemak
Kasar (%)
|
0,91
|
BETN (%)
|
35,61
|
Total
Nutrien Tercerna (%)
|
54,29
|
Padang Penggembalaan
Menurut Reksohadiprodjo (1994) padang penggembalaan adalah suatu daerah
padangan dimana tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak yang
dapat merenggutnya menurut kebutuhannya dalam waktu singkat. Beberapa macam
padang penggembalaan diantaranya padang penggembalaan alam, padang penggembalaan
permanen yang sudah ditingkatkan, padang penggembalaan temporer dan padang
panggembalaan irigasi. Beberapa cara menggembalakan ternak di padang
penggembalaan antara lain yaitu cara ekstensif denga menggembalakan ternak di
padangan yang luas tanpa erosi, semi-ekstensif dengan melakukan rotasi namun
pemilihan hijauan masih bebas, cara intensif dengan melakukan rotasi tiap petak
dengan hijauan dibatasi, strip grazing dengan menempatkan kawat sekelilig
ternak yang bisa dipindah dan solling dengan hijauan padangan yang dipotong dan
diberikan ada ternak di kandang.
Produksi rumput di padang penggembalaan ditentukan oleh beberapa faktor
seperti iklim, pengelolaan, kesuburan tanah, pemeliharaan dan tekanan
penggembalaan (Reksohadiprodjo,1994) rumput yang biasa digunakan untuk pastura
(padang penggembalaan) adalah Brachiaria humidicola yang merupakan rumput
tahunan yang memiliki perkembangan vegetatif dengan stolon yang begitu cepat
sehingga bila ditanam di lapang akan segera membentuk hamparan.
Leguminosa
Nitrogen merupakan unsur yang penting dalam meningkatkan produktivitas dan
kualitas tanaman, tetapi sebagian besar tanah di daerah tropis miskin unsur
nitrogen. Menurut Buckman dan Brady (1982) ada beberapa cara penambahan
nitrogen dalam tanah antara lain fiksasi nitrogen, fiksasi bebas atau
azofiksasi, melalui air hujan dan petir, dan penambahan dalam bentuk pupuk
kimia, pupuk kandang atau pupuk hijau.
Di Indonesia tanaman leguminosa telah lama diketahui selain untuk
meningkatakan kesuburan tanah, juga untuk menahan erosi, tanaman pelindung,
kayu bakar dan daunnya sangat baik sebagai pakan ternak karena mempunyai nilai
nutrisi yang tinggi.
Jenis leguminosa yang banyak digunakan adalah yang tahan terhadap
pemotongan dan pertumbuhannya cepat, dapat tumbuh bersama dengan tanaman inang
tanpa mengakibatkan terjadinya persaingan penggunaan cahaya dan tidak
mengurangi produksi ranaman pokok.
DAFTAR PUSTAKA
Aboenawan, L. 1991. Pertambahan berat badan, konsumsi ransum dan total
digestible nutrien (TDN) pellet isi rumen dibanding pellet rumput pada domba
jantan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Pulungan, H. 1988. Peranan rumput lapangan sebagai ransum pokok ternak
domba. Hasil Temu Tugas Sub Sektor Peternakan, 4:218-288.
KAPASITAS TAMPUNG
Menurut Reksohadiprodjo (1985), yang disitasi oleh Kencana (2000), Kapasitas tampung (Carrying Capacity) adalah
kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan
oleh sejumlah ternak yang digembalakan dalam luasan satu hektar atau kemampuan padang penggembalaan untuk menampung ternak per
hektar. Departemen Pertanian (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa, Kapasitas tampung adalah jumlah hijauan makanan ternak yang dapat
disediakan kebun hijauan makanan ternak untuk kebutuhan ternak selama 1 (satu) tahun yang dinyatakan dalam satuan
ternak (ST) per hektar.
Satuan Ternak (ST)
atau Animal Unit (AU) merupakan satuan untuk ternak yang didasarkan atas
konsumsi pakan. Setiap satu AU diasumsikan atas dasar konsumsi seekor sapi
perah dewasa non laktasi dengan berat 325 kg atau seekor kuda dewasa.
Tabel Nilai konversi ST atau AU pada pelbagai jenis dan umur fisiologis
ternak.
Jenis Ternak
|
ST atau AU per
ekor
|
1 ST setara
dengan Jumlah Ternak
|
Kuda
Sapi
Sapi Pejantan
Sapi muda, umur
lebih 1 tahun
Pedet (anak
sapi)
Anak kuda (colt)
Babi
induk/pejantan
Babi seberat 90
kg
Domba
Induk/pejantan
Anak domba
(cempe)
Ayam (setiap 100
ekor)
Anak ayam (setiap 200 ekor)
|
1.00
1.00
1.00
0.50
0.25
0.50
0.40
0.20
0.14
0.07
1.00
1.00
|
1
1
1
2
4
2
2,5
5
7
14
100
200
|
Sumber: Ensminger, 1961. (http://stpp-malang.ac.id).
Kapasitas
tampung juga dapat diartikan sebagai kemampuan padang rumput dalam
menampung temak atau jumlah ternak yang dapat dipelihara per satuan luas padang (Kencana,
2000). Departemen Pertanian (2009), mengatakan bahwa kapasitas
tampung (carrying capacity) = tekanan penggembalaan (stocking
rate) optimal. Kapasitas tampung identik dengan tekanan penggembalaan
(stocking rate) yaitu jumlah ternak atau unit ternak per satuan
luas padang penggembalaan. Tekanan penggembalaan optimum merupakan
pencerminan dari kapasitas tampung yang sebenarnya dari
padang penggembalaan, karena baik pertumbuhan ternak maupun hijauan dalam
keadaan atau merupakan pencerminan keseimbangan antara padang rumput
dengan jumlah unit ternak yang digembalakan.
Menurut Susetyo
(1980), yang disitasi oleh Wiryasasmita (1985) bahwa, kapasitas tampung adalah
angka yang menunjukan satuan ternak yang dapat digembalakan diluasan tanah
pangonan tertentu, selama waktu tertentu, dengan tidak mengakibatkan kerusakan
baik terhadap tanah, vegetasi maupun ternaknya. Dengan demikian kapasitas
tampung tersebut tergantung pada berbagai faktor seperti kondisi tanah,
pemupukan, faktor kilmat, spesies hijauan, serta jenis ternak satwa yang
digembalakan atau terdapat di suatu padangan.
Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam menentukan kapasitas tampung (Kencana, 2000) yaitu :
1. Penaksiran kuantitas produksi hijauan. Umumnya dilakukan dengan metode cuplikan dengan
memakai frame berukuran tertentu dengan bentuk yang bermacam-macam
(persegi, bujur sangkar, lingkaran, atau segitiga). Pengambilan sampel di
lapangan dilakukan secara acak. Banyaknya ditentukan dengan melihat homogenitas
lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan.
Hijauan yang terdapat dalam areal frame dipotong lebih kurang 5 -10 cm
diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.
2. Penentuan Proper
Use Factor. Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung
pada jenis ternak yang di gembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim
setempat beserta kondisi tanah padangan. Untuk penggunaan padangan ringan,
sedang, dan berat nilai PUF-nya masing-masing adalah 25-30 %, 40-45 %, dan
60-70 %. Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan antara lain
karena :1). Jika lahan semakin mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi
rendah, sebaiknya tidak terlalu banyak hijauan di panen; 2). Bila hijauannya
mempunyai pola pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua
hijauan yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan
dipelihara; 3). Semakin banyak jenis ternak yang dipelihara maka
injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100 % hijauan yang
ada dapat dikonsumsi ternak. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Proper
Use Factor tergantung pada: 1). Jenis ternak yang digembalakan; 2). Tipe Iklim;
3). Kondisi tanah.
3. Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan. Penaksiran ini didasarkan pada kemampuan temak mengkonsumsi hijauan. Misalnya
: kebutuhan seekor ternak sapi dewasa adalah 40 kg rumput per ha (10 %
dari bobot badan) maka per bulan diperlukan 40 kg X 30 = 1.200 kg (1,2
ton) hijauan. Bila produksi hijauan 8 ton per ha, maka luas lahan yang
dibutuhkan seekor sapi dewasa per bulan adalah 1,2/8 = 0,15 ha.
4. Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun. Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang telah
dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalakan lagi. Masa
ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput tropika membutuhkan
waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari.
Untuk menaksir kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus Voisin
dengan metode Hall et all; (1964), yaitu:
(Y– 1) s = r
Dimana: Y = Jumlah satuan luas tanah terendah yang dibutuhkan seekor ternak
pertahun terhadap kebutuhan per bulan
s = stay (periode
merumput di setiap luasan tanah selama 30 hari)
r = rest (periode padang penggembalaan diistirahatkan untuk menjamin
pertumbuhan kembali adalah 10 minggu atau 70 hari).
DAFTAR PUSTAKA
_______________. 2010. Satuan Ternak (ST) / Animal Unit (AU). http://stpp-malang.ac.id+nilai+konversi+AU+pada+berbagai+jenis+dan+umur+fisiologi+ternak. [27 September 2011].
Departemen Pertanian. 2009. Pedoman Teknis Perluasan Areal
Padang Penggembalaan TA.2009. http://pla.deptan.go.id./pdf/07 PEDOMAN PADANG
GEMBALAa.pdf [27 September 201].
Departemen Pertanian. 2010. Pedoman Teknis Perluasan Areal Padang
Penggembalaan TA.2010. http://pla.deptan.go.id/pdf/120 Peral Kebun HMT
2010.pdf [27 September 2011].
Kencana, S. 2000. Habitat Rusa Timor (Cervus Timorensis) dan
Kapasitas Tampung Padangan Alam Taman Buru Pulau Rumberpon Manokwari.http://www.papuaweb.org/unipa/dlib-s123/kencana-surya [06 Agustus 2011].
Wiryasasmita, R. 1985. Potensi Tanah Pangonan di Desa Parerejo Kecamatan
Purwodadi Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. http://e-jurnal.perpustakaan.ipb.ac.id/files/ MPE851002rwi.pdf [27 September 2011].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar